Penyuluhan Sosial Melalui Media Cetak
Oleh Syaiful W. Harahap
Tabloid ‘ayom’ Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak
DEPARTEMEN SOSIAL, Wisma Pendawa, Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001
Berita (news) sudah merupakan salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjangkau khalayak secara luas dan bisa menembus semua batas ekonomi, sosial, dll. maka dipakailah media massa (media cetak dan elektronik) sebagai saluran untuk menyampaikannya. Tentu saja tidak mungkin menyebarluaskan berita melalui poster, selebaran atau pengeras suara.
Berita yang
disebarluaskan itu sendiri tidak sekadar informasi (keterangan). Dalam
kaidah jurnalistik tidak semua informasi layak diberitakan. Hanya
informasi yang mengandung unsur-unsur layak berita yang pantas menjadi
berita di media massa. Berita pasti berisi informasi tetapi tidak semua informasi layak (menjadi) berita.
Unsur-unsur Layak Berita
Pengamatan
terhadap berita-berita di media cetak menunjukkan ada kecenderungan
pemberitaan masalah-masalah sosial yang tidak layak berita, seperti
razia atau penertiban pekerja seks, gelandangan, anak jalanan dll.
Misalnya, penangkapan tamu hotel yang tinggal sekamar tanpa surat nikah
atau penggarukan pekerja seks di jalananan sama sekali tidak mengandung
makna yang berarti.
Seperti
diketahui media massa merupakan agent of change (pembawa pembaharuan)
yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi agent of development kareana
mendorong sikap masyarakat ke arah yang lebih produktif. Tetapi,
pemberitaan seputar pekerja seks, anak jalanan, gelandangan dll. justru
menyuburkan stigma (cap negatif). Ada kesan seolah-olah petugas yang
menggaruk dan wartawan yang mengikuti penggarukan itu merupakan
orang-orang yang paling bermoral sedangkan yang digaruk merupakan
‘sampah masyarakat’. Kamera televisi dengan leluasa mengambil gambar
pekerja seks. Cara ini merupakan perbuatan melanggar hukum karena
pemuatan gambar di media massa harus seizin yang bersangkutan.
Pertanyaan
yang sangat mendasar adalah: Apakah petugas dan wartawan tidak
mempunyai andil dalam menyuburkan pelacuran, anak jalanan, pengemis,
dll? Apa iya, petugas dan wartawan lebih bermoral dari pekerja seks,
pengemis, anak jalanan dll.? Berita yang tidak fair itu muncul karena
wartawan memasukkan nilai moralnya ketika menulis berita. Dia memakai
ukuran moralitas dirinya sendiri yang semu, yang, maaf, terkadang
bertolak belakang dengan realitas moralnya sendiri. Ini pun membuat
masyarakat bersikap mendua (ambiguitas) terhadap masalah sosial.
Dari
segi jurnalistik berita-berita itu sama sekali tidak bernilai karena
tidak mengandung unsur-unsur layak berita. Ada enam unsur layak berita
yaitu (1) significance yaitu sejauh mana suatu fakta atau informasi
dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak, (2) magnitude yaitu
angka-angka yang dapat mempengaruhi pembaca, (3) timeliness yaitu
kejadian yang baru terjadi, (4) proximity yaitu kedekatan suatu kejadian
dengan pembaca baik secara geografis maupun psikologis, (5) prominence
yaitu ketenaran jika suatu fakta atau kejadian menyangkut nama yang
akrab dengan pembaca, dan (6) human interest yaitu keterkaitan unsur
manusia misalnya orang besar dalam keadaan biasa atau orang biasa dalam
keadaan luar biasa.
Dalam
berita-berita penggarukan pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak
jalanan sama sekali tidak ada unsur-unsur layak berita. Tidak ada
pekerja seks yang ternama yang menjadi public figure. Karena berita
merupakan agent of change akan sangat berarti kalau berita tentang
pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak jalanan dapat ditulis
secara komprehensif agar masyarakat dapat mendukung upaya-upaya
penanganan dan penanggulangan masalah sosial secara objektif dan
realistis.
Di
sinilah petugas sosial dapat berperan, misalnya, dengan menulis
tanggapan baik melalui surat ke rubrik ‘Surat Pembaca’ terhadap suatu
berita atau menulis masalah tersebut dalam bentuk ‘Opini’. Surat sangat
terbatas, tetapi dalam Opini persoalan dapat dipaparkan secara
sistematis, termasuk di dalamnya penyampaian pesan dan saran. Bahkan,
beberapa koran menyediakan honorarium yang layak, antara Rp 50.000 – Rp
350.000 untuk tulisan yang dimuat.
Berita yang merupakan rekonstruksi ulang dari suatu kejadian merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: apa yang terjadi (what), siapa (who), mengapa (why), di mana (where), kapan (when) dan how (bagaimana). Inilah yang dikenal sebagai 5W + 1H dalam dunia jurnalistik.
Kelompok Sasaran
Setiap media mempunyai keunggulan dan kelemahan. Media
cetak dibatasi ruang, radio dibatasi waktu, dan televisi dibatasi ruang
dan waktu. Media cetak membutuhkan konsentrasi bagi pembacanya,
sedangkan radio dan televisi dapat didengar dan dilihat sambil lalu.
Namun, radio sangat efektif untuk menggerakkan emosi massa karena nada
suara akan dapat merasuk pendengarnya. Sebaliknya, media cetak sangat
efektif menumbuhkan sikap. Dalam bahasa jurnalistik media cetak
dikaitkan dengan teori jarum suntik hipodermis yaitu penyuntikan di
bawah kulit sehingga tidak terlalu sakit, tetapi obat yang disuntikkan
masuk. Begitu pula berita, tanpa dirasakan yang membacanya dia sudah
dipengaruhi di bawah alam sadarnya. Untuk mencapai tahap ini sangat
tergantung dari pengkajian berita dan sasaran pembaca.
Karena
masalah sosial perlu disampaikan kepada masyarakat secara objektif,
akurat dan komprehensif maka berita-berita yang terkait dengan aspek
sosial pun perlu disampaikan dengan fair. Agar berita bermakna sebagai
upaya untuk menggalang kepedulian masyarakat terhadap masalah sosial
maka penulisan berita perlu mempertimbangkan field of experience (ruang lingkup pengalaman) dan field of reference
(ruang lingkup referensi) kelompok sasaran. Soalnya, biar pun
lambang-lambang atau terminologi yang dipakai dalam berita, termasuk
penggunaan bahasa baku, dapat dipahami pembaca, tetapi pemahaman
terhadap makna yang terkandung dalam berita itu tergantung kepada field
of experience dan field of reference pembaca.
Tanpa
memperhatikan dua unsur tersebut maka bisa terjadi kesalahpamahan,
apalagi berita ditulis oleh wartawan dengan memasukkan moral dirinya
sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak objektif yang pada gilirannya
menyuburkan stigma. Jika hal ini yang terjadi maka upaya untuk
meningkatkan kepedulian masyarakat agar bahu-membahu dalam mengatasi
masalah sosial pun akan sia-sia belaka. Masyarakat justru akan
memalingkan muka dari masalah-masalah sosial, yang pada akhirnya akan
menimbulkan masalah yang kian rumit.
Penyajian
berita masalah sosial yang tidak fair merupakan realitas media yang
tidak menggambarkan realitas sosial. Wartawan yang memberitakan fakta
tidak mengacu ke realitas sosial sehingga membuat masyarakat menilai
masalah sosial dengan moral dirinya. Hal inilah yang selama ini terjadi
sehingga penanganan masalah-masalah sosial kian rumit karena masyarakat
menganggap mereka sebagai sampah.
Contoh yang paling akurat adalah masalah epidemi HIV dan virus hepatitis C (HCV) di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug users/IDU).
Beberapa surveilans di kalangan IDU menunjukkan infeksi HIV dan HCV
berkisar antara 40%-60%. Karena berita HIV/AIDS dan Narkoba (narkotik
dan bahan-bahan berbahaya) selama ini tidak fair maka masyarakat pun
tidak peduli dan mengabaikan pencegahan penularan HIV dan HCV karena
mereka menganggap jika IDU tertular HIV atau HCV maka mereka akan mati.
Sayang,
pola pikir tersebut keliru karena sebelum seorang IDU yang tertular HIV
atau HCV mati dia sudah menularkannya kepada orang lain, misalnya,
kepada istrinya atau pasangan seksnya secara horizontal. Jika
istrinya tertular maka istrinya pun kelak akan menularkan HIV ke anak
yang dikandungnya secara vertikal. Maka, mata rantai penyebaran HIV dan
HCV pun tidak dapat lagi diputus kalau pola pikir masyarakat sudah
keliru.
Hal
yang sama akan terjadi dalam masalah-masalah sosial. Jika ada berita
yang tidak fair maka masyarakat pun akan mengabaikan persoalan sosial
yang ada di depan matanya, sebaliknya sikap tersebut justru menyuburkan
masalah-masalah sosial yang pada akhirnya menjadi beban DEPARTEMEN
SOSIAL.
Menyiapkan Bahan Berita
Wartawan
memperoleh bahan berita dari siaran pers, liputan, acara dan konferensi
pers. Karena kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL berkaitan dengan upaya
penampakan dalam masyarakat sebagai instansi yang menangani
masalah-masalah yang terkait dengan aspek sosial maka media massa pun
menjadi kawan seiring. Di satu pihak wartawan membutuhkan berita, di
lain pihak (kegiatan) DEPARTEMEN SOSIAL pun perlu diberitakan. Media
massa dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian pemerintah dan
masyarakat terhadap suatu masalah yang ditangani DEPARTEMEN SOSIAL.
Untuk
itulah diperlukan pendekatan yang bersahabat dengan wartawan. Kalau
berurusan dengan manajemen media semuanya dihitung berdasarkan harga.
Artinya, biar pun ada kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL yang layak berita,
tetapi karena ada unsur memperkenalkan diri maka berita itu dilihat
sebagai “iklan”. Akibatnya, berita itu tidak akan pernah dimuat.
Bisa
saja DEPARTEMEN SOSIAL “memberitakan” kegiatannya sebagai iklan. Namun,
tanggapan pembaca akan miring terhadap berita yang bersifat iklan
(advertorial) karena isinya yang baik-baik saja. Berbeda dengan berita
yang dikemas menurut kaidah jurnalistik akan dapat mempengaruhi pembaca
sehingga tujuan pun tercapai.
Karena
media massa sudah dikelola secara manajemen maka adalah tidak mungkin
lagi untuk ‘merangkul’ media karena bisa saja terjadi ada perbedaan yang
sangat mendasar. Pengelola media melihat pasar dengan kacamata bisnis,
sedangkan pihak lain, seperti DEPARTEMEN SOSIAL, melihat pasar sebagai
khalayak yang patut menerima berita yang terkait dengan aspek-aspek
sosial.
Untuk
mencapai sasaran diperlukan bahan berita yang dapat ‘menggiring’ atau
‘merangsang’ wartawan menulis berita sesuai dengan yang diharapkan. Di
sinilah diperlukan siaran pers (press release). Siara pers
ditulis berdasarkan kaidah-kaidah baku jurnalistik dan disajikan dalam
bentuk piramida terbalik, artinya bagian yang penting ditempatkan di
bagian depan dan detail selanjut pada bagian lain. Siaran pers ini
merupakan advertorial terselubung, tetapi kalau ditulis dengan akurat,
objektif dan fair materi yang dimasukkan secara terselubung tidak akan
kelihatan. Apalagi siaran pers ditulis dalam bentuk berita yang siap
muat maka akan memudahkan wartawan untuk mengolah siaran pers tersebut
menjadi berita yang sesuai untuk medianya.
Dalam
kaitan inilah perlu dibina kerja sama yang baik dengan wartawan karena
wartawan akan menulis berita di medianya berdasarkan bahan pada siaran
pers atau wawancara dengan pejabat dan pakar yang terkait.
Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001
Bahan Bacaan:
1. Ashadi Siregar, dkk, Bagaimana Menulis Penulis Media Massa, Paket 4, Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982.
2. Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek I, Bina Cipta, Bandung, 1974.
3. Newsletter ”HindarAIDS”Jakarta, No. 60, 1 Januari 2001 (http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm)
3. Newsletter ”HindarAIDS”Jakarta, No. 60, 1 Januari 2001 (http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm)
4. Bruce D. Itule dan Douglas A. Anderson, News Writing and Reporting for Today’s Media, Third Edition, McGraw-Hill, Inc., 1994
5. Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000
No comments :
Post a Comment