Wednesday, September 18, 2013

Penyuluhan Sosial Melalui Media Cetak

Sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/08/23/penyuluhan-sosial-melalui-media-cetak--585727.html

Penyuluhan Sosial Melalui Media Cetak

13772087561154041535Oleh Syaiful W. Harahap
Tabloid ‘ayom’ Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak
DEPARTEMEN SOSIAL, Wisma Pendawa, Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001

Berita (news) sudah merupakan salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjangkau khalayak secara luas dan bisa menembus semua batas ekonomi, sosial, dll. maka dipakailah media massa (media cetak dan elektronik) sebagai saluran untuk menyampaikannya. Tentu saja tidak mungkin menyebarluaskan berita melalui poster, selebaran atau pengeras suara.
Berita yang disebarluaskan itu sendiri tidak sekadar informasi (keterangan). Dalam kaidah jurnalistik tidak semua informasi layak diberitakan. Hanya informasi yang mengandung unsur-unsur layak berita yang pantas menjadi berita di media massa. Berita pasti berisi informasi tetapi tidak semua informasi layak (menjadi) berita.
Unsur-unsur Layak Berita
Pengamatan terhadap berita-berita di media cetak menunjukkan ada kecenderungan pemberitaan masalah-masalah sosial yang tidak layak berita, seperti razia atau penertiban pekerja seks, gelandangan, anak jalanan dll. Misalnya, penangkapan tamu hotel yang tinggal sekamar tanpa surat nikah atau penggarukan pekerja seks di jalananan sama sekali tidak mengandung makna yang berarti.
Seperti diketahui media massa merupakan agent of change (pembawa pembaharuan) yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi agent of development kareana mendorong sikap masyarakat ke arah yang lebih produktif. Tetapi, pemberitaan seputar pekerja seks, anak jalanan, gelandangan dll. justru menyuburkan stigma (cap negatif). Ada kesan seolah-olah petugas yang menggaruk dan wartawan yang mengikuti penggarukan itu merupakan orang-orang yang paling bermoral sedangkan yang digaruk merupakan ‘sampah masyarakat’. Kamera televisi dengan leluasa mengambil gambar pekerja seks. Cara ini merupakan perbuatan melanggar hukum karena pemuatan gambar di media massa harus seizin yang bersangkutan.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah petugas dan wartawan tidak mempunyai andil dalam menyuburkan pelacuran, anak jalanan, pengemis, dll? Apa iya, petugas dan wartawan lebih bermoral dari pekerja seks, pengemis, anak jalanan dll.? Berita yang tidak fair itu muncul karena wartawan memasukkan nilai moralnya ketika menulis berita. Dia memakai ukuran moralitas dirinya sendiri yang semu, yang, maaf, terkadang bertolak belakang dengan realitas moralnya sendiri. Ini pun membuat masyarakat bersikap mendua (ambiguitas) terhadap masalah sosial.
Dari segi jurnalistik berita-berita itu sama sekali tidak bernilai karena tidak mengandung unsur-unsur layak berita. Ada enam unsur layak berita yaitu (1) significance yaitu sejauh mana suatu fakta atau informasi dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak, (2) magnitude yaitu angka-angka yang dapat mempengaruhi pembaca, (3) timeliness yaitu kejadian yang baru terjadi, (4) proximity yaitu kedekatan suatu kejadian dengan pembaca baik secara geografis maupun psikologis, (5) prominence yaitu ketenaran jika suatu fakta atau kejadian menyangkut nama yang akrab dengan pembaca, dan (6) human interest yaitu keterkaitan unsur manusia misalnya orang besar dalam keadaan biasa atau orang biasa dalam keadaan luar biasa.
Dalam berita-berita penggarukan pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak jalanan sama sekali tidak ada unsur-unsur layak berita. Tidak ada pekerja seks yang ternama yang menjadi public figure. Karena berita merupakan agent of change akan sangat berarti kalau berita tentang pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak jalanan dapat ditulis secara komprehensif agar masyarakat dapat mendukung upaya-upaya penanganan dan penanggulangan masalah sosial secara objektif dan realistis.
Di sinilah petugas sosial dapat berperan, misalnya, dengan menulis tanggapan baik melalui surat ke rubrik ‘Surat Pembaca’ terhadap suatu berita atau menulis masalah tersebut dalam bentuk ‘Opini’. Surat sangat terbatas, tetapi dalam Opini persoalan dapat dipaparkan secara sistematis, termasuk di dalamnya penyampaian pesan dan saran. Bahkan, beberapa koran menyediakan honorarium yang layak, antara Rp 50.000 – Rp 350.000 untuk tulisan yang dimuat.
Berita yang merupakan rekonstruksi ulang dari suatu kejadian merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: apa yang terjadi (what), siapa (who), mengapa (why), di mana (where), kapan (when) dan how (bagaimana). Inilah yang dikenal sebagai 5W + 1H dalam dunia jurnalistik.
Kelompok Sasaran
Setiap media mempunyai keunggulan dan kelemahan. Media cetak dibatasi ruang, radio dibatasi waktu, dan televisi dibatasi ruang dan waktu. Media cetak membutuhkan konsentrasi bagi pembacanya, sedangkan radio dan televisi dapat didengar dan dilihat sambil lalu. Namun, radio sangat efektif untuk menggerakkan emosi massa karena nada suara akan dapat merasuk pendengarnya. Sebaliknya, media cetak sangat efektif menumbuhkan sikap. Dalam bahasa jurnalistik media cetak dikaitkan dengan teori jarum suntik hipodermis yaitu penyuntikan di bawah kulit sehingga tidak terlalu sakit, tetapi obat yang disuntikkan masuk. Begitu pula berita, tanpa dirasakan yang membacanya dia sudah dipengaruhi di bawah alam sadarnya. Untuk mencapai tahap ini sangat tergantung dari pengkajian berita dan sasaran pembaca.
Karena masalah sosial perlu disampaikan kepada masyarakat secara objektif, akurat dan komprehensif maka berita-berita yang terkait dengan aspek sosial pun perlu disampaikan dengan fair. Agar berita bermakna sebagai upaya untuk menggalang kepedulian masyarakat terhadap masalah sosial maka penulisan berita perlu mempertimbangkan field of experience (ruang lingkup pengalaman) dan field of reference (ruang lingkup referensi) kelompok sasaran. Soalnya, biar pun lambang-lambang atau terminologi yang dipakai dalam berita, termasuk penggunaan bahasa baku, dapat dipahami pembaca, tetapi pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam berita itu tergantung kepada field of experience dan field of reference pembaca.
Tanpa memperhatikan dua unsur tersebut maka bisa terjadi kesalahpamahan, apalagi berita ditulis oleh wartawan dengan memasukkan moral dirinya sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak objektif yang pada gilirannya menyuburkan stigma. Jika hal ini yang terjadi maka upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar bahu-membahu dalam mengatasi masalah sosial pun akan sia-sia belaka. Masyarakat justru akan memalingkan muka dari masalah-masalah sosial, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang kian rumit.
Penyajian berita masalah sosial yang tidak fair merupakan realitas media yang tidak menggambarkan realitas sosial. Wartawan yang memberitakan fakta tidak mengacu ke realitas sosial sehingga membuat masyarakat menilai masalah sosial dengan moral dirinya. Hal inilah yang selama ini terjadi sehingga penanganan masalah-masalah sosial kian rumit karena masyarakat menganggap mereka sebagai sampah.
Contoh yang paling akurat adalah masalah epidemi HIV dan virus hepatitis C (HCV) di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug users/IDU). Beberapa surveilans di kalangan IDU menunjukkan infeksi HIV dan HCV berkisar antara 40%-60%. Karena berita HIV/AIDS dan Narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) selama ini tidak fair maka masyarakat pun tidak peduli dan mengabaikan pencegahan penularan HIV dan HCV karena mereka menganggap jika IDU tertular HIV atau HCV maka mereka akan mati.
Sayang, pola pikir tersebut keliru karena sebelum seorang IDU yang tertular HIV atau HCV mati dia sudah menularkannya kepada orang lain, misalnya, kepada istrinya atau pasangan seksnya secara horizontal. Jika istrinya tertular maka istrinya pun kelak akan menularkan HIV ke anak yang dikandungnya secara vertikal. Maka, mata rantai penyebaran HIV dan HCV pun tidak dapat lagi diputus kalau pola pikir masyarakat sudah keliru.
Hal yang sama akan terjadi dalam masalah-masalah sosial. Jika ada berita yang tidak fair maka masyarakat pun akan mengabaikan persoalan sosial yang ada di depan matanya, sebaliknya sikap tersebut justru menyuburkan masalah-masalah sosial yang pada akhirnya menjadi beban DEPARTEMEN SOSIAL.
Menyiapkan Bahan Berita
Wartawan memperoleh bahan berita dari siaran pers, liputan, acara dan konferensi pers. Karena kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL berkaitan dengan upaya penampakan dalam masyarakat sebagai instansi yang menangani masalah-masalah yang terkait dengan aspek sosial maka media massa pun menjadi kawan seiring. Di satu pihak wartawan membutuhkan berita, di lain pihak (kegiatan) DEPARTEMEN SOSIAL pun perlu diberitakan. Media massa dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap suatu masalah yang ditangani DEPARTEMEN SOSIAL.
Untuk itulah diperlukan pendekatan yang bersahabat dengan wartawan. Kalau berurusan dengan manajemen media semuanya dihitung berdasarkan harga. Artinya, biar pun ada kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL yang layak berita, tetapi karena ada unsur memperkenalkan diri maka berita itu dilihat sebagai “iklan”. Akibatnya, berita itu tidak akan pernah dimuat.
Bisa saja DEPARTEMEN SOSIAL “memberitakan” kegiatannya sebagai iklan. Namun, tanggapan pembaca akan miring terhadap berita yang bersifat iklan (advertorial) karena isinya yang baik-baik saja. Berbeda dengan berita yang dikemas menurut kaidah jurnalistik akan dapat mempengaruhi pembaca sehingga tujuan pun tercapai.
Karena media massa sudah dikelola secara manajemen maka adalah tidak mungkin lagi untuk ‘merangkul’ media karena bisa saja terjadi ada perbedaan yang sangat mendasar. Pengelola media melihat pasar dengan kacamata bisnis, sedangkan pihak lain, seperti DEPARTEMEN SOSIAL, melihat pasar sebagai khalayak yang patut menerima berita yang terkait dengan aspek-aspek sosial.
Untuk mencapai sasaran diperlukan bahan berita yang dapat ‘menggiring’ atau ‘merangsang’ wartawan menulis berita sesuai dengan yang diharapkan. Di sinilah diperlukan siaran pers (press release). Siara pers ditulis berdasarkan kaidah-kaidah baku jurnalistik dan disajikan dalam bentuk piramida terbalik, artinya bagian yang penting ditempatkan di bagian depan dan detail selanjut pada bagian lain. Siaran pers ini merupakan advertorial terselubung, tetapi kalau ditulis dengan akurat, objektif dan fair materi yang dimasukkan secara terselubung tidak akan kelihatan. Apalagi siaran pers ditulis dalam bentuk berita yang siap muat maka akan memudahkan wartawan untuk mengolah siaran pers tersebut menjadi berita yang sesuai untuk medianya.
Dalam kaitan inilah perlu dibina kerja sama yang baik dengan wartawan karena wartawan akan menulis berita di medianya berdasarkan bahan pada siaran pers atau wawancara dengan pejabat dan pakar yang terkait.
Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001
Bahan Bacaan:
1. Ashadi Siregar, dkk, Bagaimana Menulis Penulis Media Massa, Paket 4, Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982.
2. Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek I, Bina Cipta, Bandung, 1974.
3. Newsletter ”HindarAIDS”Jakarta, No. 60, 1 Januari 2001 (http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm)
4. Bruce D. Itule dan Douglas A. Anderson, News Writing and Reporting for Today’s Media, Third Edition, McGraw-Hill, Inc., 1994
5. Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000

No comments :

Post a Comment