Konflik
Sosial Ditinjau Dari Segi Struktur dan Fungsi
Oleh: Mulyadi, M.Si, Drs.
Artikel di Jurnal Humaniora Volume XIV, No. 3/2002
Abstrak:
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut “konflik” (Chandra, 1992; Lauer, 1993). Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.
Dengan demikian “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang, dan masalah kekuasaan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu (Nader, t.t.).
Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Selain itu dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interkasi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antaranggota itu ditemukan berbagai tipe.
Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative (kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh warganya sepanjang masa kooperatif. Sehubungan dengan itu, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah “apakah konflik itu erat hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi kehidupan sosial manusia?”.
Faktor penyebab konflik
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
*Sumber : http://artikelipsku.blogspot.com/2008/06/konflik-sosial.html
Oleh: Mulyadi, M.Si, Drs.
Artikel di Jurnal Humaniora Volume XIV, No. 3/2002
Abstrak:
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut “konflik” (Chandra, 1992; Lauer, 1993). Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.
Dengan demikian “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang, dan masalah kekuasaan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu (Nader, t.t.).
Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Selain itu dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interkasi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antaranggota itu ditemukan berbagai tipe.
Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative (kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh warganya sepanjang masa kooperatif. Sehubungan dengan itu, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah “apakah konflik itu erat hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi kehidupan sosial manusia?”.
Faktor penyebab konflik
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
*Sumber : http://artikelipsku.blogspot.com/2008/06/konflik-sosial.html
No comments :
Post a Comment