Saturday, March 17, 2012

Sekilas Mengenai Praktek Pekerjaan Sosial

Sekilas Mengenai Praktek Pekerjaan Sosial


adapted from “The Practice of Social Work”, Chapter 1st Charles Zastrow
oleh: Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si
Tulisan ini akan berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang pekerjaan sosial. Apa yang dilakukan para pekerja sosial? Bagaimana membedakan pekerjaan sosial dari psikologi, psikiatri, bimbingan dan konseling, dan profesi pertolongan lainnya? Apa hubungan pekerjaan sosial dengan kesejahteraan sosial? Apa pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan para pekerja sosial agar efektif? Ratusan teknik intervensi tersedia, tetapi mana yang harus dipelajari oleh para pekerja sosial? Bab ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejumlah upaya juga telah dilakukan untuk menjawab persoalan tersebut. (lihat Baer & Federico, 1978; Bartless, 1970; “Conceptual Frameworks II,” 1981; Council on Social Work Education, 1982, 1992a, 1992b, 2001; Germain & Gitterman, 1980; Loewenberg & Dolgoff, 1971: National Association of Social Workers, 1973, 1976, 1981, 1982; Pincus & Minahan, 1973; “Special Issue on Conceptual Frameworks,” 1977). Bab ini secara luas merupakan upaya untuk menggabungkan konseptualisasi sebelumnya dan untuk menggambarkan pekerjaan sosial sebagai suatu profesi, dengan demikian membantu para pekerja sosial dan pihak yang berkepentingan lainnya untuk memahami dan mengartikulasikan apa pekerjaan sosial itu dan apa keunikan profesi pekerjaan sosial. Kita mulai dengan melihat sekilas sejarah pekerjaan sosial.
Sejarah Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi relatif muncul baru-baru ini. Pertama-tama badan-badan kesejahteraan sosial hadir di area perkotaan awal tahun 1880-an. Badan-badan atau pelayanan-pelayanan ini berdiri sendiri dan dibangun terutama oleh inisiatif kependetaan dan kelompok-kelompok keagamaan. Hingga awal tahun 1890-an, pelayanan-pelayanan tersebut disediakan secara ekslusif oleh kependetaan dan kemurahan “do-gooders” (para dermawan) yang tidak memiliki keterampilan formal dan sedikit pemahaman mengenai perilaku manusia dan bagaimana cara menolong orang. Fokus dari pelayanan-pelayanan khusus tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar seperti halnya makanan dan penginapan (rumah perlindungan) dan berupaya merawat orang yang mengalami kesulitan emosional dan pribadi dengan nasihat-nasihat keagamaan.
Sebuah ilustrasi awal mengenai organisasi kesejahteraan sosial adalah Society for Prevention of Pauperism (Masyarakat untuk Pencegahan Kemiskinan) didirikan oleh John Griscom di tahun 1820 (Bemmer, 1962, p.13). Masyarakat ini menyelidiki kebiasaan dan keadaan masyarakat miskin, mengajukan rencana dengan bagaimana masyarakat miskin dapat menolong diri mereka sendiri, mendorong masyarakat miskin untuk menabung dan berhemat. Salah satu upaya perbaikan yang dilakukan adalah kunjungan dari rumah ke rumah (suatu tipe paling dasar dari pekerjaan sosial).
Pada pertengahan tahun 1800-an, sejumlah besar badan-badan penanganan kemiskinan telah berdiri di kota-kota besar untuk membantu pengangguran, masyarakat miskin, yang sakit, orang cacat mental atau fisik, dan anak yatim piatu. Program-program mereka seringkali tidak terkoordinasi dan tumpang tindih, dan kemudian orang Inggris menyebutnya–Charity Organization Society (COS)—yang selanjutnya dicontoh oleh sejumlah kota di Amerika (Cohen, 1958). Mulai dari Buffalo, New York di tahun 1877, COS secara cepat diadopsi di banyak kota. Dalam organisasi pertolongan kemasyarakatan, badan-badan privat bergabung bersama (1) untuk memberikan pelayanan langsung kepada individu dan keluarga—dalam hal ini patut dihargai bahwa mereka merupakan pionir pendekatan social casework dan konseling keluarga—dan (2) merencanakan dan mengkoordinasikan upaya-upaya badan-badan privat untuk memenuhi penanganan permasalahan sosial perkotaan—patut dihargai bahwa mereka merupakan perintis-perintis pendekatan pengorganisasian masyarakat dan perencanaan sosial. Organisasi-organisasi karitas melakukan secara penyelidikan mendetail kepada setiap aplikan untuk memperoleh pelayanan dan bantuan keuangan, mengelola pusat sistem registrasi klien untuk menghindari duplikasi, dan memanfaatkan relawan friendly visitors secara luas untuk mempermudah pekerjaan. The friendly visitor terutama “pelaku pekerjaan terpuji”, secara umum memberikan simpati bukan uang dan mendorong masyarakat miskin untuk menabung dan memperoleh pekerjaan. Kemiskinan dianggap sebagai kelemahan pribadi. Sebagian besar friendly visitor adalah perempuan.
Bersamaan dengan gerakan COS telah berdiri pula banyak rumah perlindungan di akhir 1800-an. Toynbee Hall merupakan rumah perlindungan pertama yang didirikan di London tahun 1884; disusul kemudian pendirian di kota-kota besar lainnya di US. Pada awalnya banyak para pekerja di sejumlah rumah perlindungan adalah anak-anak perempuan pejabat. Para pekerja yang berasal dari kalangan menengah ke atas, tinggal di lingkungan keluarga miskin untuk meperoleh pengalaman betapa kerasnya realitas hidup miskin. Secara simultan mereka bekerja sama dengan masyarakat setempat, mereka berupaya mencari cara untuk meningkatkan taraf kehidupan. Sebaliknya dengan friendly visitor, mereka berasal dari lingkungan yang miskin dan memanfaatkan pendekatan misionaris dengan mengajarkan pendudukan setempat bagaimana kehidupan bermoral dan meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Mereka berupaya memperbaiki kondisi perumahan, kesehatan, dan kehidupan; mencari kerja; mengajar bahasa Inggris; cara hidup sehat, dan meningkatkan keterampilan; dan perbaikan lingkungan sekitar melalui upaya-upaya bersama. Rumah perlindungan (rumah singgah) menggunakan teknik perubahan yang sekarang dikenal dengan social group work, social action, dan community organization.
Rumah-rumah perlindungan menekankan “environmental reform” sementara “mereka terus berjuang mengajarkan masyarakat miskin nilai-nilai bekerja yang berlaku di kelas menengah, berhemat, dan pantang menyerah sebagai kunci keberhasilan (Becker, 1968, p.85). Kemudian mengatasi permasalahan lokal dengan aksi sosial, rumah perlindungan memainkan peran penting dan dalam penyusunan legislasi dan dalam mempengaruhi kebijakan sosial dan legislasi. Salah seorang pemimpin dalam pergerakan rumah perlindungan yang terkenal adalah Jane Addams dengan Hulll House di Chicago, yang menyimpulkan rumah perlindungan sebagai beirikut:
The Settlement, then, is an experimental effort to aid in the solution of social and industrial problems which are engendered by modern conditions of life in a great city (Addam, 1959, pp.125-126)
Para pemimpin rumah perlindungan percaya bahwa melalui perubahan lingkungan mereka mampu memperbaiki masyarakat, dan melalui perubahan masyarakat mereka akan membangun suatu masyarakat yang lebih baik.
Pekerja sosial yang pertama kali bergaji adalah sekretaris eksekutif Organisasi Karitas Masyarakat di akhir tahun 1800-an (Dolgoff & Feldstein, 1980, pp. 233-234). Di akhir tahun 1800-an COS memperoleh sjumlah kontrak dengan pemerintah kota dimana mereka memperoleh alokasi dana pengentasan kemiskinan. Dalam mengelola program tersebut, pihak COS menyewa orang sebagai sekretaris eksekutif untuk mengelola dan melatih friendly visitor dan memantapkan prosedur akuntansi untuk menunjukkan akuntabilitas penerimaan-penggunaan dana. Untuk meningkatkan pelayanan friendly visitor, sekretaris eksekutif  menetapkan standard an kursus pelatihan. Di tahun 1898 sebuah kursus pelatihan pertama kali dilakukan oleh COS New York. Kemudian di tahun 1904 The New York School of Philanthropy menawarkan program pelatihan untuk satu tahun. Setelah itu, sejumlah perguruan tinggi dan universitas mulai menawarkan program pelatihan dalam pekerjaan sosial. Pada awalnya, fokus pendidikan pekerjaan sosial pada perbaikan lingkungan untuk mengatasi permasalahan sosial. (Seperti suatu pendekatan yang focus pada perubahan sistem yang lebih baik sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Pembuatan perundangan Social Security Act di tahun 1935 untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin dan penganguran merupakan sallah satu conoh dari sebuah pendekatan perbaikan lingkungan.
Richard Cabot memperkenalkan medical social work ke dalam MMassachusetts General Hospital di tahun 1905 (Dolgoff & Feldstein, 1980, pp.233-234). Berangsur-angsur, para pekerja sosial dipekerjakan di sekolah, pengadilan, klinik bimbingan anak, dan berbagai tempat lainnya.
Di tahun 1917 Mary Richmond mempublikasikan Social Diagnosis, suatu tulisan menyuguhkan untuk pertama kalinya suatu teori dan metodologi bagi pekerjaan sosial. Buku tersebut focus pada bagaimana pekerja sosial seharusnya mengintervensi individu. Prosesnya masih digunakan hingga saat ini dan meliputi studi (pengumpulan informasi), diagnosis (menetapkan apa yang salah), prognosis, dan rencana tindakan (menetapkan apa yang harus dilakukan untuk membantu perbaikan klien). Buku ini memformulasikan batang tubuh pengetahuan bagi social casework sehingga begitu penting.
Di tahun 1920-an teori perkembangan kepribadian dan terapi Freud menjadi popular. Konsep dan penjelasan psikiatris yang diperlihatkan secara khusus sesuai bagi para pekerja sosial, yang juga bekerja dalam hubungan lawan-muka dengan klien. Pendekatan psikiatris menekankan proses interpsikis dan fokus pada bagaimana memungkinkan klien beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Selama tiga decade selanjutnya, para pekerja sosial telah beralih pendekatannya dari perbaikan (reform) ke terapi. Namun begitu, di tahun 1960-an para pekerja sosial menunjukkan keberminatan barunya kepada pendekatan-pendekatan sosiologis, atau perbaikan (reform). Banyak alasan di balik pergeseran ini. Persoalan muncul mengenai relevansi dan ketepatan pendekatan yang digunakan kepada klien yang berpendapatan rendah yang memiliki kebutuhan sosial dan ekonomi mendesak. Lebih jauh lagi, banyak pendekatan psikoterapi efektivitasnya dipersoalkan (Eysenk, 1961). Alasan lainnya adalah meningkatnya status sosiologi dan semangat di tahun 1960-an, yang memunculkan pertanyaan mengenai relevansi institusi sosial dalam memenuhi kebutuhan penduduk. Pekerjaan sosial saat ini mencakup pendekatan reform dan therapy.
Sebelum berakhirnya Perang Dunia I, pekerjaan sosial diakui sebagai suatu profesi yang berbeda. Masa Depresi di tahun 1930-an dan undang-undang Social Security Act di tahun 1935 makin memperluas pelayanan-pelayanan sosial umu dan peluang pekerjaan bagi para pekerja sosial. Sejak tahun 1900 telah tumbuh kesadaran dalam dewan badan-badan sosial dan publik bahwa pekerja sosial yang terlatih profesional dibutuhkan untuk memberikan pelayanan sosial secara kompeten. Di tahun 1955 Asosiasi Pekerja Sosial Nasional AS (NASW) dibentuk untuk mewakili profesi pekerjaan sosial di AS. Tujuannya adalah meningkatkan kondisi sosial dan mendukung praktek pekerjaan sosial yang berkualitas tinggi dan efektif..
Dalam tahun belakangan ini pertimbangan energi telah dikeluarkan untuk membangun suatu sistem registrasi atau lisensi bagi para pekerja sosial. Seperti suatu sistem menjamin kualifikasi personil penyedia pelayanan pekerjaan sosial dan lebih jauh lagi pengakuan pekerja sosial sebagai suatu profesi. Semua negara sekarang ini mengeluarkan aturan lisensi atau sertifikat praktek pekerjaan sosial.
Pekerjaan sosial adalah salah satu profesi yang sangat penting dalam masyarakat kita jika dilihat dari jumlah orang terlibat, banyaknya orang yang ditangani, dan jumlah uang yang dikeluarkan.
Definisi Pekerjaan Sosial
Asosiasi Pekerja Sosial Nasional AS (NASW) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:
Social work is the professional activity of helping individuals, groups, or community to enhance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions favorable to their goals.
Social work practice consist of the professional application of social work values, principles, and techniques to one or more of the following ends: helping people obtain tangible services; providing counseling and psychotherapy for individuals, families, and groups; helping community or group provide or improve social and health services; and participating in relevant legislative processes.
The practice of social work requires knowledge of human development and behavior; of social, economic, and cultural institutions; and of the interaction of all these factors. (Barker, 1999, p.455)
Istilah pekerja sosial umumnya diterapkan pada lulusan program pendidikan (sama halnya dengan tingkat sarjana atau master) daam pekerjaan sosial yang dipekerjakan Dallam bidang kesejahteraan sosial. Seorang pekerja sosial adalah agent of  change, seorang penolong yang secara khusus bekerja untuk tujuan menciptakan perubahan terencana (Pincus & Minahan, 1973, p. 54). Sebagai agen perubahan seorang pekerja sosial diharapkan terampil dalam bekerja dengan individu, kelompok, keluarga, dan oraganisasi, serta membawa perubahan masyarakat. Barker (1999) menambahkan:
Social workers help people increase their capacities for problem solving and coping, and they help them obtain needed resources, facilitate interactions between individuals and between people and their environment, make organizations responsible to people, and influence social policies. (p.456)
Hubungan Antara Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial
Tujuan kesejahteraan sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial, keuangan, kesehatan, dan rekreasional semua individu dalam masyarakat. Kesejahteraan sosial berupaya meningkatkan keberfungsian sosial semua kelompok usia, baik kaya maupun miskin. Ketika intitusi lain dalam masyarakat kita (seperti ekonomi pasar atau keluarga) pada suatu waktu gagal memenuhi kebutuhan dasar individu atau kelompok orang, pelayanan sosial dibutuhkan dan diperlukan. Barker (1999) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai berikut:
A nstion’s system of programs, benefits, and services that people meet those social, economic, educational, and health needs that are fundamental to the maintainance of society. (p. 455)
Contoh-contoh program dan pelayanan kesejahteraan sosial adalah perawatan anak, adopsi, day care, probasi dan parole, program bantuan public, perawatan kesehatan masyarakat, terapi seks, konseling penbunuhan, pelayanan rekreasional (pramuka dan PMR program), pelayanan kelompok minoritas dan veteran, pelayanan sosial sekolah, pelayanan medis dan hokum bagi masyarakat miskin, pelayanan keluarga berencana, bantuan makanan bagi lansia, pelayanan rawat inap, rumah perlindungan, rumah singgah, pelayanan bagi orang penyandang acquired immune deficiency syndrome (AIDS), pelayanan perlindungan bagi anak korban kekerasan dan terlantar, pelatihan asertif, proyek perumahan rakyat, konseling keluarga, Alchoholics Anonymous (AA), pelayanan bagi orang penyandang kecacatan, dan pelayanan rehabilitasi.
Hampir semua pekerja sosial dipekerjakan di bidang kesejahteraan sosial. Namun begitu banyak professional dan kelompok okupasi lainnya yang bekerja dalam bidang tersebut, seprti terlihat dalam ilustrasi Gambar 1.
Apakah Profesi Pekerjaan Sosial itu?
Asosiasi Pekerja Sosial Nasional AS (NASW) mendefinisikan profesi pekerjaan sosial sebagai berikut:
The social worker profession exist to provide humane and effective social services to individuals, families, groups, communities, and society so that social functioning may be change and the quality of life improved.
The profession of social work, by both traditional and practical definition, is the profession that provides the formal knowledge base, theoretical concepts, specific functional skill, and essential social values which are used to implement society’s mandate to provide safe, effective, and constructive social services
Gambar 1. Contoh kelompok-kelompok professional dalam bidang kesejahteraan sosial termasuk pengacara yang memberikan pelayanan hokum bagi bagi masyarakat miskin; perencana perkotaan dalam badan pelayanan sosial; dokter dalam badan kesehatan masyarakat; guru dan konselor dalam fasilitas penyembuhan untuk penghuni yang mengalami gangguan emosional; psikolog, perawat, dan terapis rekreasional dalam rumah sakit jiwa, dan psikiater di klinik kesehatan mental.
Pekerjaan sosial dengan demikian berbeda dengan profesi lainnya (seperti halnya psikologi dan psikiatri) karena ia bertanggungjawab dan memperoleh mandat untuk menyediakan pelayanan sosial.
Seorang pekerja sosial membutuhkan pelatihan dan keahlian dalam suatu wilayah yang luas agar efektif dalam menangani masalah yang dihadapi oleh individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan masyarakat yang lebih besar. Meski banyak profesi-profesi meningkat menjadi lebih terspesialisasi (sebagai contoh, banyak doctor medis saat ini yang khusus ppada satu atau dua wilayah tertentu), pekerjaan sosial terus menekankan suatu pendekatan generic (broad-based). Praktek pekerjaan sosial adalah analog dengan praktek pengobatan umum yang telah lama. Praktisi umum (atau keluarga) memiliki pendidikan professional untuk menangani secara luas masalah kesehatan umum; seorang pekerja sosial memiliki pendidikan professional untuk menangani secara umum dan luas permasalahan sosial dan personal.
Praktek Pekerjaan Sosial Generalis
Terdapat suatu kesan atau impresi salah yang meyaini bahwa seorang seorang pekerja sosial adalah juga seorang case worker, seorang group worker, atau seorang community organizer. Secara praktis para pekerja sosial mengetahui bahwa keyakinan tersebut adalah sallah karena setiap pekerja sosial adalah seorang agen perubahan yang bekerja bersama individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan masyarakat yang lebih luas. Jumlah waktu yang diluangkan untuk berbagai level aktivitas dari pekerja ke pekerja, tetapi setiap pekerja sosial, pada suatu waktu, akan akan bekerja pada setiap level dan dengan demikian membutuhkan pelatihan semuanya.
Dewan untuk Pendidikan Pekerjaan Sosial AS (CSWE) menuntut bahwa semua level program sarjana dan master melatih mahasiswanya dalam praktek pekerjaan sosial generalis. (Program M.S.W. , biasanya menambahkan kebutuhan mahasiswa untuk memilih dan belajar suatu konsentrasi tertentu. Mereka umumnya menawarkan beberapa pilihan, seperti terapi keluarga, administrasi, koreksional, atau pekerjaan sosial klinis).
Seorang pekerja sosial generalis dilatih untuk menggunakan proses pemecahan-masalah untuk mengkaji dan mengintervensi permasalahan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Andersen (1981) mengidentifikasi terdapat tiga kerakteristik seorang pekerja sosial generalis: (1) generalis selalu secara professional pertama melihat klien sebagaimana mereka memasuki sistem kesejahteraan sosial; (2) pekerja sosial dengan demikian harus kompeten untuk menilai (to assess) kebutuhannya dan mengidentifikasi tekanan dan permasalahan utamanya; (3) pekerja sosial harus menerapkan beragam keterampilan dan metode dalam melayani klien.
Brieland, Costin, dan Atherton (1985) mendefinisikan dan menggambarkan praktek generalis sebagai berikut:
The generalist social worker, the equivalent of the general practitioner in medicine, is characterized by wide repertoire of skills to deals with basic conditions, backed up by specialists to whom referrals are made. This role is a fitting one for the entry level social worker.
The generalist model involves identifying and analyzing the interventive behaviors appropriate to social work. The worker must perform a wide range of tasks related to the provision and management of direct service, the  development of social policy, and the facilitation of social change. The generalist should be well grounded in system theory that emphasizes interaction and independence. The major system that will be used is te local network of services…
The public welfare worker in a small county may be a classic example of generalist. He or she knows the resources of the county, is acquainted with the key people, and may have considerable influence to accomplish service goals, including obtaining jobs, different housing, or emergency food and clothing. The activities of the urban generalist are more complex, and more effort must be expended to use the array of resources. (pp. 120-121)
Hull (1990) menjelaskan praktek generalis sebagai berikut:
The basic principle of generalist practice is that baccalaureate social worker are able to utilize the problem solving process to intervene with various size systems including individuals, families, groups, organizations, and communities. The generalist operates within a systems and and person-in-the-environment framework (sometimes referred to as ecological model). The generalist operates within a system and the person-in-the-environment framework (sometimes referred to as an ecological model). The generalist expects that many problems will require intervention with more than one system (e.g., individual work with [a] delinquent adolescent plus work with the family or school) and that single explanations of the problem situations are frequently unhelpful. The generalist may play several roles simultaneously or sequentially depending upon the needs of the client (e.g., facilitator, advocate, educator, broker, enabler, case manager, and/or mediator). They may serve as leaders/facilitators of task groups, socialization groups, information groups, and self-help groups. They are capable of conducting needs assessments and evaluating their own practice and the programs with which they are associated. They make referrals when client problems so dictate and know when to utilize supervision from more experienced staff. Generalist operate within the ethical guidelines prescribed by the NASW Code of Ethics and must be able to work with clients, co-workers and colleagues from different ethnic, cultural, and professional orientations. The knowledge and skills of the generalist are transferable from one setting to another and from one problem to another. (p.7)
Hal terpenting dari praktek generalis meliputi suatu pandangan akan situasi konsep seseorang dalam lingkungannya (person-in-envorenment) serta kemampuan dan kesadaran untuk mengintervensi pada level yang berbeda, jika memang diperlukan, sementara memperkirakan sejumlah peran yang diperlukan.
Barker (1999) menjelaskan seorang pekerja sosial generalis yaitu:
Seorang praktisi pekerjaan sosial yang berpengetahuan dan berketerampilan yang menekankan spectrum luas dan yang mengkaji permasalahan dan solusianya secara komprehensif. Generalis selalu mengkoordinasikan upaya-upaya ahli khusus dengan mempermudah komunikasi diantara mereka, sehingga tercapai keberlanjutan penanganan. (p. 190)
Tulisan tersebut menjelaskan pendekatan praktek-generalis dalam pekerjaan sosial dengan menjelaskan beragam strategi asesmen dan intervensi. Sekali anda mempelajari strategi-strategi tersebut, anda kemudian dapat memilih pendekatan-pendekatan yang paling menjanjikan dalam mempermudah perubahan positif terhadap klien.
Dalam bekerja dengan individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat, pekerja sosial menggunakan suatu pendekatan pemecahan masalah (problem-solving approach). Proses pemecahan-masalah dapat dilustrasikan dalam beragam cara, namun akan terdiri dalam tahapan berikut:
  1. Mengidentifikasi secara jelas kemugkinan masalah atau masalah
  2. Munculkan kemungkinan solusi arternatif
  3. Mengevaluasi alternatif solusi
  4. Memilih sebuah solusi atau solusi-solusi yang akan digunakan dan menetukan tujuan
  5. Implementasi solusi
  6. Tindak lanjuti untuk mengevaluasi apakah solusi bekerja.
Konseptualisasi pendekatan pemecahan masalah lainnya adalah proses perubahan praktek pekerjaan sosial, yang akan dijelaskan berikut ini.
Proses Perubahan
Seorang pekerja sosial menggunakan suatu change process dalam bekerja bersama klien. (Klien termasuk individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan masyarakat) Dewan untuk Pendidikan Pekerjaan Sosial AS (2001) dalam EPAS (Educational Policy and Accreditation Standards) menjelaskan sepuluh keterampilan yang dibutuhkan bagi praktek pekerjaan sosial:
  1. Mengikutsertakan klien dalam suatu hubungan kerjasama yang sesuai
  2. Mengidentifikasi isyu, permasalahan, kebutuhan, sumber, dan asset
  3. Mengumpulkan dan mengkaji informasi
  4. Merencanakan penyediaan pelayanan
  5. Menggunakan keterampilan-keterampilan komunikasi, supervise, dan konsultasi
  6. Mengidentifikasi, menganalisis, dan mengimplementasi secara empiris berdasarkan disain intervensi untuk mencapai tujuan-tujuan klien
  7. Menerapkan pengetahuan empiris dan teknologi terdepan (maju)
  8. Mengevaluasi outcomes program dan efektivitas praktek.
  9. Mengembangkan, menganalisa, mengadvokasi, dan memberikan kepemimpinan untuk kebijakan dan pelayanan
10.  Mendukung keadilan sosial dan ekonomi.
Satu hingga delapan keterampilan tersebut menyediakan suatu kerangka sempurna bagi konseptualisasi proses perubahan dalam pekerjaan sosial.
Fase 1: Mengikutsertakan Klien dalam suatu Hubungan Kerjasama yang Sesuai
Mari kita kita lihat proses perubahan dalam contoh kasus berjudul “Praktek Generalis dalam Perencanaan”. Pemanggilan empat anak remaja yang dikeluarkan karena minum minuman bir selama jam sekolah. Langkah pertama dalam proses perubahan adalah mengidentifikasi semua potensi klien. Tahap kedua adalah melibatkan mereka dalam suatu hubungan yang pantas.
Dalam kasus ini, terdapat sejumlah “potensi klien”. Klien adalah orang yang diberi sanksi atau meminta pertolongan layanan pekerja sosial, mereka yang diharapkan memperoleh manfaat pelayanan, dan yang bersepakat untuk bekerja sama atau kontrak dengan pekerja sosial. Dengan menggunakan definisi tersebut, empat orang remaja yang dikeluarkan dari sekolah (dan orang tuanya) merupakan klien potensial yang diharapkan memperoleh manfaat pelayanan. Sekolah Menengah Atas merupakan sebuah klien yang memiliki kerjasama kontraktual dengan pekerja sosial, Tuan Doni. (SMA dalam hal ini juga adalah klien pekerja sosial karena meminta bantuan Tuan Doni untuk membantu masalah ini.) Siswa lainnya (dan orang tuanya) juga merupakan klien potensial sebagaimana diharapkan memperoleh manfaat dari pelayanannya.
Agar efektif, adalah penting bahwa seorang pekerja sosial mencari bentuk yang sesuai, hubungan professional dengan semua kliennya. Suatu hubungan kerjasama adalah fasilitatif apablia pekerja sosial menunjukkan keramahan, empati, dan rasa hormat.
Fase 2: Mengidentifikasi Isyu, Permasalahan, Kebutuhan, Sumber, dan Asset
Tahap pertama dari fase 2 adalah mengidentifikasi isyu, masalah dan kebutuhan. Hanya dengan itu keberadaan sumber-sumber dan asset ditentukan.
Pekerja sosial sekolah, Tuan Doni, mengidentifikasi beragam isyu (pertanyaan, perhatian, masalah), termasuk hal-hal berikut: apakah remaja memiliki masalah kecanduang minuman? Apakah anak-anak merasa kecewa dengan sistem sekolah sehingga kekecewaan tersebut ditunjukkan dengan melanggar aturan sekolah? Apa kerugian jangka panjang dan jangka pendek dari pengusiran dari sekolah buat anak remaja? Apakah pengusiran tersebut akan berdampak merugikan bagi remaja sebagai “trouble makers”, dan kemudian lebih jauh membawanya kepada perilaku kenakalan remaja? Bagaimana orangtua akan bereaksi terhadap perilaku minum minuman keras dan pengusiran anak-anak mereka? Apa dampak pengusiran tersebut terhadap anak siswa lainnya? (Kemungkinan dampak positif: Pengusiran mungkin akan mencegah siswa lainnya untuk melanggar aturan sekolah). Kemungkinan konsekuensi negative: Pengusiran akan mendorong siswa lain untuk melanggar aturan sekolah sebagai bentuk kekecewaan dan mengurangi kehadiran di sekolah.) Apakah pengusiran secara paksa akan menciptakan permasalahan bagi pedagang di masyarakat jika anak-anak remaja yang dikeluarkan menghabiskan waktunya di jalanan? Apakah kebijakan sekolah mengeluarkan anak secara paksa karena mabuk di sekolah adalah bersifat konstruktif atau destruktif? Apakah sistem sekolah memiliki tanggungjawab untuk menambahkan komponen pendidikan tentang NAPZA dalam kurikulumnya? Apakah ada aspek menetukan dalam sistem sekolah yang mendorong anak untuk memberontak? Jika demikian, maka aspek-aspek tersebut harus diubah.
Berdasarkan indentifikasi awal mengenai isyu, masalah dan kebutuhan, pekerja sosial seharusnya mulai dapat menentukan susmber-sumber apa yang tersedia untuk menhadapi situasi tersebut. Daftar konprehensif tersebut akan membimbing ke fase berikut (pengumpulan dan pengajian informasi). (Pendekatan sistem Pincus-Minahan merupakan sallah satu kerangka yang bagus untuk menggambarkan situasi tahapan tersebut)
Tuan Doni menyadari bahwa SMA memiliki sejumlah sumberdan aset untuk menghadapi isyu tersebut. Sejumlah tenaga professional (guru, psikolog, dan pekerja sosial lainnya, perawat, dan bimbingan konseling) ada untuk menyediakan pelayanan, termasuk bantuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program-program baru untuk mengatasi permasalahan, kebutuhan dan isyu-isyu yang telah teridentifikasi. Jika dibutuhkan, pihak sekolah memiliki dana untuk menyewa satu atau sejumlah konsultan yang ahli dalam persoalan NAPZA. Sekolah juga telah menetapkan suatu birokrasi baru (termasuk dewan sekolah) yang memiliki prosedur dan kebijakan untuk menetapkan program baru. Pemerintah pusat dan daerah juga menyediakan dana untuk melakukan program pencegahan pemakaian obat-obatan terlarang.
Fase 3: Mengumpulkan dan Mengkaji Informasi
Dalam fase ini pengumpulan data secara mendalam dan analisis data dilakukan agar pekerja sosial memperoleh jawaban terhadap isyu dan masalah yang muncul dalam fase 1. Pada sejumlah isyu, kegunaaan informasi dapat dipenuhi langsung dari klein (misalkan kasus remaja tadi). Dengan demikian, pertanyaan mengenai apakah anak remaja memiliki masalah dengan minum-minuman dapat dijawab melalui pertemuan dengan mereka secara individual, membangun hubungan yang saling mempercayai, dan kemudian menggali keterangan seberapa sering mereka minum-minuman keras, berapa banyak mereka mengkonsumsi saat minum serta apa yang mereka alami saat minum tersebut. Agar isyu tetap muncul sebagaimana di Fase1, informasi harus dikumpulkan dari bernagai sumber. Sebagai contoh, dampak buruk baik jangka pangjang maupun pendek dari pengeluaran paksa dari sekolah terhadap anak-anak remaja tersebut mungkin dapat dijawab melalui penelitian literatur mengenai topik tersebut.
Fase 4: Merencanakan Penyediaan Pelayanan
Setetlah informasi terkumpul dan dikaji, Tuan Doni dan pengambil keputusan lainnya dalam sistem sekolah perlu memutuskan apakah sistem sekolah sebaiknya menyediakan pelayanan terhadp situasi tersebut. (Biasanya suatu keputusan melibatkan suatu kajian seperti bagaimana propektif klien memenuhi syarat yang dibutuhkan oleh agensi.) keputusan untuk menyediakan pelayanan dalam kasus ini dengan mudah dapat dibuat, sebagaimana sistem sekolah memiliki kewenangan untuk menyediakan pelayanan bagi semua siswa. Keputusan berikutnya pelayanan mana yang akan disediakan—akan dilihat dalam fse5-7 berikut.
Fase 5: Menggunakan Keterampilan-keterampilan Komunikasi, Supervisi, dan Konsultasi
Efektifitas seorang pekerja sosial sangat tergantng pada kemampuan keterampilan komunikasinya—baik keterampilan oral maupun tulis. (Beberapa direktur badan pelayanan menegaskan bahwa keterampilan penulisan adalah sepenting keterampilan wawancara dan konseling—seperti halnya pekerja sosial perlu mendokumentasikan rencana kajian dan penanganan, seperhalnya tulisan laporan pengadilan dan laporan lainnyayang dibutuhkan oleh badan sosial.) Hal penting lainnya adalah kemampuan pekerja sosial untuk memberikan presentasi dalam forum apapun; dan berkomunikasi secara efektif dengan klien, staf, dana professional badan sosial lainnya.
Setiap ‘administrator’ badan sosial membutuhkan pekerja sosial sebagai “team players”, dan dan tidak hanya bertahan ketika komentar dan saran kritis diberikan. (Dalam contoh kasus, Tuan Doni seringkali mengadakan pertemuan dengan supervisornya, Ibu Dr. Mirna, Direktur Pelayanan Siswa di SMA, mengenai tindakan apa yang seharusnya dia ambil.)
Pekerja sosial juga harus mengetahui kapan konsultasi akan bermanfaat, dan kemudian baru melakukan konsultasi. Jadi, setelah kontak dengan Departemen Pendidikan, Tuan Doni mengetahui bahwa konsultan departemen, Dr. Alfa, memiliki keahlian yag luas mengenai program pencegahan dan penanganan masalah NAPZA dan Alkohol. Dr. Alfa bersedia datang ke sekolah dengan Cuma-Cuma. Dua kali pertemuan dibicarakan dan didiskusikan berkenaan dengan isyu masyarakat Tuan Doni dan program-program mana yang Dr. Alfa cocok dengan situasi tersebut.
Fase 6: Mengidentifikasi, Menganalisis, dan Mengimplementasi secara Empiris Berdasarkan Disain Intervensi untuk Mencapai Tujuan-tujuan Klien
Contoh kasus menyimpulkan beragam intervensi yang valid dan konsisten dengan tujuan-tujuan umum, nilai-nilai, dan etika profesi pekerjaan sosial. Terdapat berbagai potensi intervensi dalam kasus tersebut. Tuan Doni dapat mengupayakan untuk melibatkan keempat anak remaja dalam konseling perseorangan berkenaan dengan masalah pola minum dan pengeluaran paksa dari sekolahnya. Dia dapat mengupayaan kelompok konseling di sekolah untuk empat anak remaja tersebut dan siswa lainnya yang mengalami masalah minum-minum. Atau, dia dapat mengupayakan ekeempat anak memperoleh konseling perseorangan dari pusat konseling di luar sistem sekolah. Tuan Doni juga dapat mengupayakan keempat anak dan orang tuanya memperoleh terapi keluarga dari pusat pelayanan konseling di luar sistem sekolah. Namun begitu sebagai strategi intervensi lain yang berkembang atas isyu (bersama orang tua, masyarakat bisnis, kepolisian, administrasi sekolah, dan dewan sekolah) seperti apakah pengeluaran secara paksa dari sekolah karena meminum minuman beralkohol adalah kebijakan yang diharapkan—mungkin “skorsing dari sekolah” akan menjadi suatu kebijakan yang lebih baik. Strategi intervensi tambahan lainnya adalah memasukan materi pendidikan alcohol dan NAPZA ke dalam kurikulum.
Tuan Doni mendiskusikan strategi tersebut dengan Dr. Alfa dan memenuhi pemikirannya (berdasarkan atas hasil intervensi di masyarakat lainnya) kira-kira yang mana yang paling efektif secara biaya. (analisis cost-benefit membandingkan sumber-sumber yang digunakan dan manfaat potensial yang diharapkan.) Hanya saja jarang para pekerja sosial mampu memenuhi semua intervensi yang diharapkan karena keterbatasan waktu dan sumber.
Tuan Doni memilih pendekatan pencegahan sebagai salah satu intervensi—yaitu, dia akan mengembangkan kurikulum kesehatan termasuk materi mengenai alkohol dan NAPZA. Sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan intervensi sekarang muncul terhadap Tuan Doni. Apa materi khusus yang harus disajikan dalam program pendidikan-NAPZA? (Tuan Doni mengerti bahwa gambaran tentang drugs, seperti LSD, mungkin memunculkan pertanyaan dari orang tua apakah materi pendidikan mengenai penjarangan pemakaian yang mungkin mendorong beberapa anak remaja lainnya untuk mencoba) Di bagian mana komponen pendidikan-drug akan ditambahkan ke kurikulum—dalam sekumpulan besar semua siswa yang perlu hadir? Dalam kelas kesehatan? Dalam kelas ilmu sosial? Akankah administrasi sekolah, guru, dewan sekolah, siswa, dan orang tua mendukung proposal untuk menambahkan komponen tersebut dalam kurikulum? Strategi apa yang paling efektif dalam memperoleh dukungan dari beragam kelompok tersebut?
Sebagai langkah pertama dalam fase ini, Tuan Doni segera bertemu dengan supervisornya, Dr. Alfa, untuk memperbincangkan mengenai isyu-isyu dan memunculkan sejumlah strategi alternative. Tiga strategi yang dibicarakan:
  1. Sebuah survey diam-diam dilakukan di SMA untuk menemukan keberadaan pemakaian minuman beralkohol dan obat-obatan diantara siswa. Survey tersebut dapat dijadikan dokumen kebutuhan akan pendidikan NAPZA
  2. Sebuah komite staf profesional di departemen pelayanan siswa dapat mengembangkan sebuah program pendidikan-NAPZA
  3. Departemen pelayanan siswa dapat menanyakan kepada administrasi sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan sebuah komite yang mewakili dewan sekolah, administrasi, guru-guru, siswa, orang tua, dan depertemen pelayanan siswa. Komite ini yang mengeksplor kebutuhan dan kelayakan sebuah program pendidikan-NAPZA.
Tuan Doni dan Dr. Alfa memutuskan bahwa cara terbaik untuk memperoleh dukungan luas untuk program pendidikan-NAPZA adalah pada opsi ketiga. Dr. Alfa bertemu dengan kepala sekolah, Mari Rism

Sumber : http://kesos.unpad.ac.id/?p=645

No comments :

Post a Comment